Selasa, 02 Agustus 2011

Sebuah Surat Untuk Teman-teman Semua: Jombang Bagaimana Kabarmu?




Asalamu'alaikum

Saat ini, mungkin sedikit susah-susah gampang untuk bisa mengumpulkan teman-teman baik pelajar dan mahasiswa serta pemuda Kabupaten Jombang. Sudah banyak media online yang bertebaran. Seharusnya kondisi ini bisa mempermudah dalam mobilisasi. Tapi yang terjadi tidak.

Saya sempat iri serta cemburu melihat teman-teman dari Kendari, Makasar, Mandar, Sumatera Utara, Padang, dan lainnya ketika membuka halaman online daerahnya.

FB dengan username daerah masing2. Menjadi kebutuhan wajib tatkala browsing internet. Tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi daerah tanah kelahiran dan komunikasi membangun silaturrahmi dengan teman-teman sedaerah.

Maksud dari tulisan saya ini adalah untuk mengajak temen2 agar bisa membangun media online bersama. Yang bisa dijadikan pusat komunikasi pelajar, mahasiswa, pemuda, bahkan masayarakat Jombang. Baik yang masih berada di Jombang atau sedang di perantauan.

Mungkin di bulan puasa ramadhan ini bisa menjadi awalan yang baik dari niatan kita bersama. Sebagaimana yang telah saya sampaian diatas. Harapan saya, ini bisa dipikirkan dan di rembuk bersama. Apalagi sebentar lagi lebaran. Momen mudik ke Jombang bisa digunakan untuk berkumpul, kopdar untuk membicarakan ini semua.

Mungkin ini dari saya. Sebelumnya terimakasih semua.

Wasalam

Adi Dzikrullah Bahri

Diskusi lebih lanjut:
Mobile: +62 8568195462
Email: adidzikrullah@gmail.com
Blog: adibahri.blogspot.com

Minggu, 10 Juli 2011

Purnama di Bukit Menoreh [Bag. 1]




Siang ini begitu cerah. Beberapa berkas telah beres. Syukur pengesahan dari dosen pembimbing telah ku dapat. Sekarang tinggal pengesahan dari Komisi Praktek Kerja Lapang (PKL).

“Salam. Pak Basuki, saya Zaki. Mahasiswa Kehutanan angkatan 2007. Pak, saya bermaksud untuk konsultasi perihal PKL. Bagaimana, Pak.” Segera sebuah pesan singkat terkirim ke nomor Pak Basuki.

“Iya, Anda bisa langsung ke Gedung Wisuda. Saya sedang menyeleksi mahasiswa baru.” Bersama Arif aku segera meluncur ke tempat yang telah disebutkan tadi.

“Selamat siang, Pak. Saya ingin konsultasi perihal praktek saya, Pak.” Pak Basuki terlihat memperhatikan dengan serius. Tiba-tiba senyum tipisnya terlihat. “Ya selamat siang juga. Zaki tidak lupa membawa draf proposal, kan?” akupun segera tanggap. Ku keluarkan seberkas draf proposal praktek yang masih di dalam map merah.

“Iya, Pak. Ini drafnya. Saya berencana untuk praktek di hutan rakyat. Tepatnya di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Kening Pak Basuki sedikit berkerut. Mungkin sedang memikirkan pertanyaan apa yang akan keluar untukku. “Kenapa ko memilih hutan rakyat, Zak? Bisakah kamu menjelaskan kepada saya.” Benar saja, pertanyaan itu pasti keluar.

Sama seperti apa yang telah ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsiku, Bu Lina. Aku berfikir sejenak. Mungkin literature yang telah ku baca bisa sedikit membantu. Pun aku telah menganalisis bagaimana perkembangan dan peluang hutan rakyat sekarang.

Sudah menjadi rahasia umum. Aku bersama beberapa teman sedang kencang untuk membahas hutan rakyat. Hutan rakyat, bagiku adalah sebuah keberhasilan masyarakat kecil dalam membangun hutan. Iya keberhasilan menanam dan merawat vegetasi kayu. Meskipun hutan tersebut berupa kebun, sepetak tanah yang dimiliki oleh masyarakat.

Kesuksesan ini mencuat ketika pengelolaan hutan yang selama ini diusahakan oleh negara dan swasta mengalami kegagalan. Banyak pihak, khususnya yang berseragam institusi negara menganggap masyarakatlah yang selama ini menjadi faktor pembangunan sektor kehutanan menjadi hambatan. Bahkan ada anggapan masyarakat sekitar hutan harus di lokalisir. Atau kasarnya dianggap sebagai hama yang harus dibasmi.

Tetapi bukan itu yang ku sampaikan ke Pak Basuki. Aku cukup menyampaikan bahwa hutan rakyat telah menjadi barang yang eksotik untuk dipelajari. Masih sedikit mahasiswa, bahkan kalangan akademisi, menganggap rakyat belum bisa membangun hutan. Padahal data yang ada, kebutuhan kayu nasional saat ini banyak dipenuhi oleh kayu dari hutan rakyat.

Selanjutnya aku utarakan, bahwa di sinilah fungsi utama perguruan tinggi. Apa yang telah dipelajari di kampus harus bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Aku mendefinisikan masyarakat menjadi dua. Yaitu masyarakat bermodal besar atau pengusaha, dan masyarakat bermodal kecil atau rakyat kecil. Di titik masyarakat kecil inilah saya ingin bermanfaat. Karena selama ini, meskipun tersirat, kita seolah-oleh memihak masyarakat bermodal besar. Ini bisa ditunjukkan dengan keberpihakan kita untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan lebih banyak kepada pengusaha-pengusaha hutan bermodal besar.

Menurutku, masyarakat kecil juga lebih sangat membutuhkan kita. Introduksi teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi hal yang penting bagi masyarakat. Aku ingin mengetahui, bagaimana masyarakat kecil bisa mengorganisir diri untuk bisa membangun hutan rakyat. Apalagi tempat praktekku telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan dari FSC. Sebuah capaian yang sulit untuk didapatkan oleh masyarakat kecil, bahkan masyarakat bermodal besar.

“Saya sudah sedikit tahu tentang Anda, Zaki. Anda dikampus sudah menjadi kekuatan tersendiri dalam mengajarkan teman-teman Anda dan kami sebagai dosen, untuk bisa lebih memperhatikan bagaimana pengelolaan hutan oleh masyarakat.”

Tiba-tiba rasa haru ini menelusup. Ternyata Pak Basuki memperhatikan apa yang selama ini kami perjuangkan. Aku yakin, apa yang aku perjuangkan bersama teman-teman merupakan hal yang kecil bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi kami. Sumberdaya alam ataupun hutan harus bisa memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Siapapun rakyat itu. Bukan hanya rakyat yang bermodal besar. Tetapi juga rakyat yang bermodal kecil.

“Jadi bagaimana, Pak?” aku mengharap terdapat wejangan Pak Basuki yang diberikan. “Lihat kondisi di daerah praktekmu. Bagaimana masyarakat menghimpun kekuatan membentuk kelompok tani ataupun koperasi. Pelajari bagaimana masyarakat membangun hutan. Dan pelajari apa motivasi masyarakat dalam hutan rakyat. Intinya, di sana kamu tidak sekedar melihat. Pun kamu di sana bukan juga seorang fortuna yang mampu memberikan berbagai jalan keluar dari segala kebuntuan yang ada. Terapkan, berikan ilmu yang telah kamu dapat di kampus.” Wejangan yang sangat berarti bagiku.
***

“Zaki, kamu dimana? Bisakah kita bertemu hari ini, untuk membahas praktek kita?” Tiba-tiba ku dapat pesan singkat, sms, dari Ari. “Siap. Aku di kampus. Di kantin Abu. Kita ketemuan di sini aja.”

Mungkin 20 menit kemudian, Ari, Arif, Rizki, Adhi, Bayu, dan Ocot datang menghampiriku. “Eh bagaimana ini. Kita harus berangkat pukul 15.30?” Ari membuka pembicaraan. Tak disangka, akupun kaget dengan apa yang disampaikan Ari. “Eh yang benar aja. Aku kan belum siap. Rencananya aku akan ketemu seseorang dulu.”

Tiba-tiba Adhi sudah memasang muka senyum yang penuh dengan ledekan. “Hehe…  aku taulah kamu akan ketemu siapa, Zak.” Dengan gayanya yang khas, Adhi memecah kekagetanku. Sebatang rokok dan secangkir kopi. “Ah… kamu sok atau, Dhi.” Sanggahku dengan muka malu. Diapun ketawa kecil. Wah ngeledek ini ya.

“Lo kenapa kita harus pukul 15.30 berangkatnya. Bukannya kita sudah menjadwalkan pukul 19.30?” sedikit mempertanyakan rencana semula yang telah disepakati. Aripun memberi penjelasan, “Ya ini masalahnya. Kebetulan busnya pukul segitu. Kitapun belum pesan tiket. Jadi kita harus berangkat sekarang.”

Wah yang benar ini. Sekarang saja sudah pukul 14.20. Mana mungkin bisa. Apalagi aku harus bertemu dengan seseorang dulu. Setelah berpikir sejenak akupun mengiyakan. Tapi Ari menyampaikan kalau kemungkinan kita tidak bisa naik bus. Kita kemungkinan berangkat dengan kereta saja. Karena kalau naik bus harus ke Jakarta dulu. Logikanya, mana mungkin ke Jakarta bisa ditempuh dengan waktu satu jam dengan kondisi Bogor dan Jakarta sering macet. Akhirnya kami menyepakati untuk naik kereta yang berangkat pukul 19.45, dan kami harus ke Stasiun Manggarai dulu.
***

“Salam. Dewi, maaf kayaknya kita tidak bisa buka puasa bareng.” Secepat mungkin pesan itu aku kirim ke Dewi. “Emang kenapa tidak bisa?” secepat kilatpun Dewi membalasnya. Ku gerakkan tanganku untuk memencet nomor ponsel Dewi.

“Asalam, Dewi.”

“Wa’alaikum salam. Iya, Zaki. Bagaimana akhirnya?” suara itu terdengar dengan jelas. Hati ini terasa tentram ketika mendengarkan suaranya. Astaghfirullah. Semoga ini bukan nafsu yang dilaknat Tuhan.

“Iya, Dewi. Aku tidak bisa nemenin kamu buka puasa. Aku harus berangkat pukul 15.30. Jadi masih ada waktu  satu jam lebih sedikit untuk mempersiapkan diri. Nggak apa kan, Dewi?” Sedikit hati-hati aku menyampaikan penundaan ini. Memang sedikit menyesal. Tadi siang, Rizka teman Dewi bilang ke aku kalau dia tadi pagi belanja beberapa bahan untuk membuat menu buka puasa. Dewi ingin masak untuk buka puasa denganku. Itu yang disampaikan Rizka.

“Ndak apa-apa ko, Zak. Hati-hati yaa…” suara itu menjadi lirih.

“Thanks, Dewi. Aku pengen ketemu kamu bentar ya. Bisakan?”

“Ya bisa. Kapan dan di mana?” Tanya Dewi kepadaku.

“Di kostan kamu aja. Nanti pukul 15.00 tepat. Oke. Sampai jumpa nanti. Wasalam.” Diapun mengiyakan dan membalas salam dariku.
***

“Dewi, aku udah di depan kostan kamu. Bisa keluar sebentar?” kukirimkan pesan singkat ke nomor ponsel Dewi. “Iya, bentar ya, Zak.” Balasan pesannya pun aku iyakan. Ku cari tempat yang nyaman untuk berteduh. Soalnya raincot ini tidak bisa menahan air hujan dengan baik. Akibatnya sebagian badan dan baju basah.

Ku perhatikan pintu kostannya. Tiba-taba ada suara pintu terbuka. Pasti itu Dewi. Ternyata tebakanku salah. “Bentar mas. Tunggu bentar. Dewinya masih keluar bentar” ternyata Rizka yang keluar dari dalam kostan. “Oh iya. Terimakasih.”

“Zaki.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku. Ternyata Dewi yang menyapa. Terlihat senyumnya yang ikhlas. Dijinjingnya plastik putih di tangan kirinya entah berisi apa, sedangkan tangan kanannya memegang payung hijau untuk melindungi dari hujan yang deras.

“Oh kamu, Dewi. Dari mana?” balasku kepadanya. “Iya. Ini dari depan bentar. Masuk dulu atuh ke ruang tamu.” Aku mengiyakan.

Ku jelaskan mengapa keberangkatan kami dimajukan. Dia memahami apa yang ada. “Dewi, maaf ya aku tidak bisa menemani kamu buka puasa.” Kusampaikan maaf itu kepadanya. “Iya ndak apa ko. Tenang aja.” Senyumnya tetap saja menjadi khas tersendiri. Akhirnya kami berbincang dengan hangatnya.

“Dewi, ini ada beberapa barang perlengkapan untuk kamu. Ya perlengkapan untuk praktek kamu.” Ku sodorkan bungkusan plastic besar. “Lo… kamu sendiri bagaimana, Zak? Bukannya kamu juga butuh ini untuk di lapangan nanti?” Tanya Dewi padaku. “Oh tidak. Aku sudah ada ko. Tenang aja. Ini buat Dewi. Oya hati-hati ya nanti ketika praktek lapangnya. Jaga stamina dan kesehatan juga ya.” Sedikit pesan aku sampaikan kepadanya.

“Hehe…. Terimakasih ya. Kamu juga, jaga kesehatan. Jangan lupa makannya yang teratur. Kamu kan sering telat makannya. Begadangnya dikurangi. Terusss…. Kopi dan rokoknya juga dikurangi. Biar badan tetap fit.”

“Ihh…. Ko tau sih kamu?” Balik aku bertanya ke dia. “Iya…. Itu kan udah menjadi kebiasaanmu. Hehe.”

Akupun berpamitan tepat pukul 15.30 ketika hujan sudah reda. [bersmbung]

Sabtu, 09 Juli 2011

Sajak ini untuknya



Sajak ini untuknya

Ya sajak ini untuknya
Untuk yang selalu dalam dekapan-Nya
Selalu dalam doa

Agar lelapnya
Agar fajarnya
Tidak ada yang lain
Tetap dalam penjagaan-Nya.
Amienku untuknya.

Perjalanan Yang Panjang



Perjalanan yang panjang

Perjalanan itu panjang
Kadang berkelok
Dan kadang lurus
Itulah perjalanan

Susah sekali untuk merasa
Ruang yang telah ada
Tersirat tak cukup berucap

Tak apalah
Perjalanan memang panjang
Rasanya sudah dimengerti
Antara ruang yang disambung

Perjalanan memang panjang
Tapi ujung itu pasti ada
Ya ujung itu pasti ada

Sabtu, 04 Juni 2011

Memperkuat Kelembagaan Petani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Community Forest


Memperkuat Kelembagaan Petani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Community Forest[1]
Oleh: Adi Dzikrullah Bahri [2]



Pendahuluan
Pengembangan hutan rakyat saat ini menjadi alternatif dalam penyediaan kayu dalam negeri. Kementerian Kehutanan RI dengan Direktorat Jenderal RLPS menempatkan hutan rakyat sebagai bagian ranah yang patut untuk diberikan apresiasi positif. Secara histori, hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam hal rehabilitasi lahan.
Dalam UU Pokok Kehutanan Tahun 1967 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, istilah hutan rakyat memiliki arti terminologi hutan milik. Hutan milik dikembangkan sejak jaman kolonial Belanda, sebagaimana yang disampaikan oleh Awang (2010) bahwa hutan rakyat telah dikembangkan pada tahun 1930-an.
Tetapi kenyataannya, dengan adanya penetapan kawasan hutan oleh negara, telah memangkas aspirasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang cenderung kurang mengakomodir kepentingan masyarakat. Padahal Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM), dengan konten pesisir, Nikijuluw (1994) menyampaikan, merupakan salah satu pendekatan pengelolam sumberdaya alam, misalnya perikman, yang meletakkan pengetahuan dan kesadari lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya..
Kondisi ini diperburuk dengan pencitraan terhadap masyarakat yang diang-gap tidak mempunyai kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hutan rakyat, yang merupakan usaha penanaman komoditas kayu di tanah milik selama ini disepelekan. Pemerintah lebih mengakomodir pengusaha yang bermodal besar untuk memiliki hak konsesi berupa HTI dan atau HPH.
Hutan rakyat, mempunyai posisi strategis yang secara tidak langsung merupakan reaksi masyarakat terhadap kondisi alam yang tidak lagi mampu mengakomodasi daya tampung yang ada. Motif ini berkembang ketika hutan rak-yat mampu memberikan sumbangan ekonomi dalam skala rumah tangga petani. Manfaat hutan rakyat baru dirasakan ketika terdapat peningkatan yang signifikan, dengan adanya peningkatan statistik tahun 2003 diketahui terdapat 1,56 juta ha HR dengan potensi kayu 39,5 juta m3 (Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik 2004), yang berkembang menjadi 2,58 juta ha dengan potensi kayu 74,76 juta m3 pada 2008 (BPKH Wilayah XI & MFP II 2009).
Data terbaru menunjukkan tahun 2010, HR di Jawa-Madura telah mencapai luasan 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar 97,97 juta m3 (Pusat P2H 2010). Kondisi ini menunjukkan bahwa luas HR telah melebihi luas hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa yaitu 2,43 juta ha yang terdiri dari hutan produksi seluas 1,77 juta ha dan hutan lindung seluas 0,66 juta ha.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengelola hutan dengan baik. Bahkan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dilakukan di tanah milik lebih menunjukkan kelestarian yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Carter (1996) bahwa suatu strategi untuk mencapai pembangu-nan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambil keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat tersebut. Dalam penyampaian ini tersampaikan bahwa masyarakat mempunyai kepekaan yang mendalam terhadap sumberdaya alam di sekitarnya.