Jumat, 03 Juni 2011

Kegagalan Institusi dalam Pencegahan Kebakaran Hutan: Tinjauan Kelembagaan dan Kebijakan Kebakaran Hutan di Indonesia


Kegagalan Institusi dalam Pencegahan Kebakaran Hutan: Tinjauan Kelembagaan dan Kebijakan Kebakaran Hutan di Indonesia [1]
Oleh: Adi Dzikrullah Bahri [2]


Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi hal yang biasa. Secara histori kebakaran hutan di Indonesia telah tercatat sejak tahun 1877. Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 1982-1983 yang menelan kerugian US$ 9.04 miliar dan tahun 1997-1998 dengan kerugian US$ 10 miliar.
Secara teori dan aplikasi kebakaran hutan terjadi akibat terpenuhinya interaksi antara bahan bakar, udara atau adanya oksigen dan sumber penyulutun. Tanpa ada interaksi dari ketiga komponen tersebut mustahil kebakaran hutan dan lahan terjadi. Dari hasil penelitian Paine dalam Environmental summary: harvesting and use of peat as an energy, tentang interaksi ketiga komponen bisa ditarik kesimpulan bahwa kebakaran hutan sangat mustahil terjadi dengan sendiri.
Kenyataan ini sangat beralasan terjadi di Indonesia. Di beberapa penuturan, ahli kebakaran hutan dan lahan Profesor Bambang Hero Saharjo menyatakan bahwa penyebab terjadinya kebakaran 99,9 % terjadi akibat ulah manusia, baik disengaja ataupun tidak. Pernyataan ini diperkuat dengan kondisi alam Indonesia yang tidak memungkinkan kebakaran hutan terjadi dengan sendirinya, atau faktor alam seperti percikan api akibat kilat atau gesekan ion negative dan positif di awan. Ketika terjadi kilat dan petir, sudah bisa dipastikan akan diikuti dengan hujan.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sampai saat ini terus terjadi. Apakah kebakaran hutan telah menjadi sebuah rutinitas biasa. Padahal kerugian yang dihasilkan sangat besar.


Kegagalan Paradigma dalam Kebakaran Hutan
Permasalahan kebakaran hutan dan lahan selama ini hanya dipandang sebagai bencana yang terjadi secara alami. Implikasi yang ditimbulkan adalah tidak ada manajemen secara menyeluruh terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Penanganan yang dilakukan di lapangan terbatas pada implementasi teknis belaka. Penguatan terhadap kelembagaan yang dikuatkan dengan kebijakan sangat lemah. Banyak peraturan yang telah diterbitkan tidak dibarengi dengan penguatan institusi pengendalian kebakaran dengan baik. Baik institusi ditingkat pusat, wilayah dan kabupaten serta kota masih lemah dalam pengendalian kebakaran hutan.
 Sebagai mana yang terjadi pada kebakaran hutan baru-baru ini di Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat (2 April 2011). Dalam salah satu surat kabar nasional diberitakan kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan hutan seluas 400 hektar dan 100 hektar tanah masyarakat.
Penanganan kebakaran hutan sekali lagi menangani kegagalan dengan alasan sumber air banyak terdapat serasah dan kotoran yang mengakibatkan selang pemadam kebakaran tersumbat. Fakta ini menunjukkan lemahnya organisasi di Indonesia dalam menanggapi kebakaran hutan dan lahan.
Terkesan tidak ada pembelajaran yang mendalam dan berkelanjutan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sejarah yang diawali sejak 1877 hingga tahun 2011 telah menghasilkan kebakaran hutan dengan kerugian yang tidak sedikit. Kondisi ini dikuatkan dengan keadaan Indonesia yang tepat pada garis katulistiwa, yang mempunyai implikasi tingginya suhu alam. Musim kemarau yang berkepanjangan juga mampu menjadi katalis terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kondisi seperti ini seharunya menjadi inputan bagi pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan.
Inputan yang dimaksud seharusnya mampu menjadi bahan dalam pembuatan kebijakan pengendalian kebakaran hutan. Diharapkan kebijakan tersebut mampu diterapkan secara aplikatif dan implementatif di lapangan. Kelemahan kebijakan yang selama ini terjadi adalah kurang adanya sinergisitas para pihak. Kegagalan penanganan kebakaran hutan dan lahan selama ini hanya ditujukan pada perusahaan yang mempunyai hak pengelolaan hutan serta instansi Kementerian Kehutanan. Padahal sudah jelas banyak pihak yang telah menyepakati untuk bisa ikut andil dalam penanganan kebakaran hutan.
Kegagalan interaksi ini terjadi karena masih adanya paradigma kebakaran hutan terjadi karena bencana alam. Bahkan tidak sedikit pejabat baik dalam tataran pusat atau daerah menyatakan kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang diakibatkan alam. Silang pemahaman inilah yang menjadikan lemahnya institusi pengendalian kebakaran hutan.

Memperkuat Institusi Pengendali Kebakaran Hutan
Sudah saatnya penguatan terhadap institusi pengendali kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Bercermin pada kerusakan yang kerap kali terjadi akibat kebakaran hutan, seharusnya semua pihak tersadarkan. Merubah paradigma terhadap kebakaran hutan dan lahan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Kordinasi yang kuat antar pihak menjadi kunci utama dalam kesuksesan penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Memperjelas peran serta pihak harus ditegaskan dengan cara penyediaan informasi yang memadai tentang histori dan prediksi terjadinya kebakaran hutan. Informasi yang disediakan juga harus tegas dalam regulasi yang dibuat. Harapannya adalah terdapat alur informasi yang saling melengkapi.
Keterlibatan pemerintah daerah harus clear dan dimengerti baik secara substansi dan implementasi lapangan. Sehingga ‘pengkambinghitaman’ terhadap pihak dapat diminimalisir bila terjadi kebakaran hutan, mengingat kondisi seperti ini kerap kali terjadi.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh ahli kebijakan kehutanan, Profesor Hariadi Kartodihardjo di berbagai tulisannya, kegagalan pengelolaan sumberdaya hutan tidak hanya terletak pada tataran teknis belaka, tetapi lebih pada pembentukan kerangka pikir yang amburadul dan lemahnya kebijakan yang dilahirkan oleh lemahnya interaksi dengan ketiadaan kebijakan antar sektor. Ketidakpastian kebijakan dan kerjasama antar sektor inilah yang berimplikasi pada tidak adanya perbaikan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dengan adanya kerangka pikir yang tepat di berbagai pihak dalam memandang sumberdaya hutan, khususnya dalam mencegah terjadinya kebakaran  hutan dan lahan, diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang tepat, aplikatif dan implementatif di lapangan, dan institusi yang kuat dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.

[1] Diterbitkan di Samarinda Post (10 April 2011) dan Jurnal Kritik Institusi (2 Juni 2011).
[2] Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan Peneliti di FORCI Development.

0 komentar:

Posting Komentar