Minggu, 10 Juli 2011

Purnama di Bukit Menoreh [Bag. 1]




Siang ini begitu cerah. Beberapa berkas telah beres. Syukur pengesahan dari dosen pembimbing telah ku dapat. Sekarang tinggal pengesahan dari Komisi Praktek Kerja Lapang (PKL).

“Salam. Pak Basuki, saya Zaki. Mahasiswa Kehutanan angkatan 2007. Pak, saya bermaksud untuk konsultasi perihal PKL. Bagaimana, Pak.” Segera sebuah pesan singkat terkirim ke nomor Pak Basuki.

“Iya, Anda bisa langsung ke Gedung Wisuda. Saya sedang menyeleksi mahasiswa baru.” Bersama Arif aku segera meluncur ke tempat yang telah disebutkan tadi.

“Selamat siang, Pak. Saya ingin konsultasi perihal praktek saya, Pak.” Pak Basuki terlihat memperhatikan dengan serius. Tiba-tiba senyum tipisnya terlihat. “Ya selamat siang juga. Zaki tidak lupa membawa draf proposal, kan?” akupun segera tanggap. Ku keluarkan seberkas draf proposal praktek yang masih di dalam map merah.

“Iya, Pak. Ini drafnya. Saya berencana untuk praktek di hutan rakyat. Tepatnya di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Kening Pak Basuki sedikit berkerut. Mungkin sedang memikirkan pertanyaan apa yang akan keluar untukku. “Kenapa ko memilih hutan rakyat, Zak? Bisakah kamu menjelaskan kepada saya.” Benar saja, pertanyaan itu pasti keluar.

Sama seperti apa yang telah ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsiku, Bu Lina. Aku berfikir sejenak. Mungkin literature yang telah ku baca bisa sedikit membantu. Pun aku telah menganalisis bagaimana perkembangan dan peluang hutan rakyat sekarang.

Sudah menjadi rahasia umum. Aku bersama beberapa teman sedang kencang untuk membahas hutan rakyat. Hutan rakyat, bagiku adalah sebuah keberhasilan masyarakat kecil dalam membangun hutan. Iya keberhasilan menanam dan merawat vegetasi kayu. Meskipun hutan tersebut berupa kebun, sepetak tanah yang dimiliki oleh masyarakat.

Kesuksesan ini mencuat ketika pengelolaan hutan yang selama ini diusahakan oleh negara dan swasta mengalami kegagalan. Banyak pihak, khususnya yang berseragam institusi negara menganggap masyarakatlah yang selama ini menjadi faktor pembangunan sektor kehutanan menjadi hambatan. Bahkan ada anggapan masyarakat sekitar hutan harus di lokalisir. Atau kasarnya dianggap sebagai hama yang harus dibasmi.

Tetapi bukan itu yang ku sampaikan ke Pak Basuki. Aku cukup menyampaikan bahwa hutan rakyat telah menjadi barang yang eksotik untuk dipelajari. Masih sedikit mahasiswa, bahkan kalangan akademisi, menganggap rakyat belum bisa membangun hutan. Padahal data yang ada, kebutuhan kayu nasional saat ini banyak dipenuhi oleh kayu dari hutan rakyat.

Selanjutnya aku utarakan, bahwa di sinilah fungsi utama perguruan tinggi. Apa yang telah dipelajari di kampus harus bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Aku mendefinisikan masyarakat menjadi dua. Yaitu masyarakat bermodal besar atau pengusaha, dan masyarakat bermodal kecil atau rakyat kecil. Di titik masyarakat kecil inilah saya ingin bermanfaat. Karena selama ini, meskipun tersirat, kita seolah-oleh memihak masyarakat bermodal besar. Ini bisa ditunjukkan dengan keberpihakan kita untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan lebih banyak kepada pengusaha-pengusaha hutan bermodal besar.

Menurutku, masyarakat kecil juga lebih sangat membutuhkan kita. Introduksi teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi hal yang penting bagi masyarakat. Aku ingin mengetahui, bagaimana masyarakat kecil bisa mengorganisir diri untuk bisa membangun hutan rakyat. Apalagi tempat praktekku telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan dari FSC. Sebuah capaian yang sulit untuk didapatkan oleh masyarakat kecil, bahkan masyarakat bermodal besar.

“Saya sudah sedikit tahu tentang Anda, Zaki. Anda dikampus sudah menjadi kekuatan tersendiri dalam mengajarkan teman-teman Anda dan kami sebagai dosen, untuk bisa lebih memperhatikan bagaimana pengelolaan hutan oleh masyarakat.”

Tiba-tiba rasa haru ini menelusup. Ternyata Pak Basuki memperhatikan apa yang selama ini kami perjuangkan. Aku yakin, apa yang aku perjuangkan bersama teman-teman merupakan hal yang kecil bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi kami. Sumberdaya alam ataupun hutan harus bisa memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Siapapun rakyat itu. Bukan hanya rakyat yang bermodal besar. Tetapi juga rakyat yang bermodal kecil.

“Jadi bagaimana, Pak?” aku mengharap terdapat wejangan Pak Basuki yang diberikan. “Lihat kondisi di daerah praktekmu. Bagaimana masyarakat menghimpun kekuatan membentuk kelompok tani ataupun koperasi. Pelajari bagaimana masyarakat membangun hutan. Dan pelajari apa motivasi masyarakat dalam hutan rakyat. Intinya, di sana kamu tidak sekedar melihat. Pun kamu di sana bukan juga seorang fortuna yang mampu memberikan berbagai jalan keluar dari segala kebuntuan yang ada. Terapkan, berikan ilmu yang telah kamu dapat di kampus.” Wejangan yang sangat berarti bagiku.
***

“Zaki, kamu dimana? Bisakah kita bertemu hari ini, untuk membahas praktek kita?” Tiba-tiba ku dapat pesan singkat, sms, dari Ari. “Siap. Aku di kampus. Di kantin Abu. Kita ketemuan di sini aja.”

Mungkin 20 menit kemudian, Ari, Arif, Rizki, Adhi, Bayu, dan Ocot datang menghampiriku. “Eh bagaimana ini. Kita harus berangkat pukul 15.30?” Ari membuka pembicaraan. Tak disangka, akupun kaget dengan apa yang disampaikan Ari. “Eh yang benar aja. Aku kan belum siap. Rencananya aku akan ketemu seseorang dulu.”

Tiba-tiba Adhi sudah memasang muka senyum yang penuh dengan ledekan. “Hehe…  aku taulah kamu akan ketemu siapa, Zak.” Dengan gayanya yang khas, Adhi memecah kekagetanku. Sebatang rokok dan secangkir kopi. “Ah… kamu sok atau, Dhi.” Sanggahku dengan muka malu. Diapun ketawa kecil. Wah ngeledek ini ya.

“Lo kenapa kita harus pukul 15.30 berangkatnya. Bukannya kita sudah menjadwalkan pukul 19.30?” sedikit mempertanyakan rencana semula yang telah disepakati. Aripun memberi penjelasan, “Ya ini masalahnya. Kebetulan busnya pukul segitu. Kitapun belum pesan tiket. Jadi kita harus berangkat sekarang.”

Wah yang benar ini. Sekarang saja sudah pukul 14.20. Mana mungkin bisa. Apalagi aku harus bertemu dengan seseorang dulu. Setelah berpikir sejenak akupun mengiyakan. Tapi Ari menyampaikan kalau kemungkinan kita tidak bisa naik bus. Kita kemungkinan berangkat dengan kereta saja. Karena kalau naik bus harus ke Jakarta dulu. Logikanya, mana mungkin ke Jakarta bisa ditempuh dengan waktu satu jam dengan kondisi Bogor dan Jakarta sering macet. Akhirnya kami menyepakati untuk naik kereta yang berangkat pukul 19.45, dan kami harus ke Stasiun Manggarai dulu.
***

“Salam. Dewi, maaf kayaknya kita tidak bisa buka puasa bareng.” Secepat mungkin pesan itu aku kirim ke Dewi. “Emang kenapa tidak bisa?” secepat kilatpun Dewi membalasnya. Ku gerakkan tanganku untuk memencet nomor ponsel Dewi.

“Asalam, Dewi.”

“Wa’alaikum salam. Iya, Zaki. Bagaimana akhirnya?” suara itu terdengar dengan jelas. Hati ini terasa tentram ketika mendengarkan suaranya. Astaghfirullah. Semoga ini bukan nafsu yang dilaknat Tuhan.

“Iya, Dewi. Aku tidak bisa nemenin kamu buka puasa. Aku harus berangkat pukul 15.30. Jadi masih ada waktu  satu jam lebih sedikit untuk mempersiapkan diri. Nggak apa kan, Dewi?” Sedikit hati-hati aku menyampaikan penundaan ini. Memang sedikit menyesal. Tadi siang, Rizka teman Dewi bilang ke aku kalau dia tadi pagi belanja beberapa bahan untuk membuat menu buka puasa. Dewi ingin masak untuk buka puasa denganku. Itu yang disampaikan Rizka.

“Ndak apa-apa ko, Zak. Hati-hati yaa…” suara itu menjadi lirih.

“Thanks, Dewi. Aku pengen ketemu kamu bentar ya. Bisakan?”

“Ya bisa. Kapan dan di mana?” Tanya Dewi kepadaku.

“Di kostan kamu aja. Nanti pukul 15.00 tepat. Oke. Sampai jumpa nanti. Wasalam.” Diapun mengiyakan dan membalas salam dariku.
***

“Dewi, aku udah di depan kostan kamu. Bisa keluar sebentar?” kukirimkan pesan singkat ke nomor ponsel Dewi. “Iya, bentar ya, Zak.” Balasan pesannya pun aku iyakan. Ku cari tempat yang nyaman untuk berteduh. Soalnya raincot ini tidak bisa menahan air hujan dengan baik. Akibatnya sebagian badan dan baju basah.

Ku perhatikan pintu kostannya. Tiba-taba ada suara pintu terbuka. Pasti itu Dewi. Ternyata tebakanku salah. “Bentar mas. Tunggu bentar. Dewinya masih keluar bentar” ternyata Rizka yang keluar dari dalam kostan. “Oh iya. Terimakasih.”

“Zaki.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku. Ternyata Dewi yang menyapa. Terlihat senyumnya yang ikhlas. Dijinjingnya plastik putih di tangan kirinya entah berisi apa, sedangkan tangan kanannya memegang payung hijau untuk melindungi dari hujan yang deras.

“Oh kamu, Dewi. Dari mana?” balasku kepadanya. “Iya. Ini dari depan bentar. Masuk dulu atuh ke ruang tamu.” Aku mengiyakan.

Ku jelaskan mengapa keberangkatan kami dimajukan. Dia memahami apa yang ada. “Dewi, maaf ya aku tidak bisa menemani kamu buka puasa.” Kusampaikan maaf itu kepadanya. “Iya ndak apa ko. Tenang aja.” Senyumnya tetap saja menjadi khas tersendiri. Akhirnya kami berbincang dengan hangatnya.

“Dewi, ini ada beberapa barang perlengkapan untuk kamu. Ya perlengkapan untuk praktek kamu.” Ku sodorkan bungkusan plastic besar. “Lo… kamu sendiri bagaimana, Zak? Bukannya kamu juga butuh ini untuk di lapangan nanti?” Tanya Dewi padaku. “Oh tidak. Aku sudah ada ko. Tenang aja. Ini buat Dewi. Oya hati-hati ya nanti ketika praktek lapangnya. Jaga stamina dan kesehatan juga ya.” Sedikit pesan aku sampaikan kepadanya.

“Hehe…. Terimakasih ya. Kamu juga, jaga kesehatan. Jangan lupa makannya yang teratur. Kamu kan sering telat makannya. Begadangnya dikurangi. Terusss…. Kopi dan rokoknya juga dikurangi. Biar badan tetap fit.”

“Ihh…. Ko tau sih kamu?” Balik aku bertanya ke dia. “Iya…. Itu kan udah menjadi kebiasaanmu. Hehe.”

Akupun berpamitan tepat pukul 15.30 ketika hujan sudah reda. [bersmbung]

0 komentar:

Posting Komentar