Sabtu, 04 Juni 2011

Memperkuat Kelembagaan Petani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Community Forest


Memperkuat Kelembagaan Petani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Community Forest[1]
Oleh: Adi Dzikrullah Bahri [2]



Pendahuluan
Pengembangan hutan rakyat saat ini menjadi alternatif dalam penyediaan kayu dalam negeri. Kementerian Kehutanan RI dengan Direktorat Jenderal RLPS menempatkan hutan rakyat sebagai bagian ranah yang patut untuk diberikan apresiasi positif. Secara histori, hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam hal rehabilitasi lahan.
Dalam UU Pokok Kehutanan Tahun 1967 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, istilah hutan rakyat memiliki arti terminologi hutan milik. Hutan milik dikembangkan sejak jaman kolonial Belanda, sebagaimana yang disampaikan oleh Awang (2010) bahwa hutan rakyat telah dikembangkan pada tahun 1930-an.
Tetapi kenyataannya, dengan adanya penetapan kawasan hutan oleh negara, telah memangkas aspirasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang cenderung kurang mengakomodir kepentingan masyarakat. Padahal Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM), dengan konten pesisir, Nikijuluw (1994) menyampaikan, merupakan salah satu pendekatan pengelolam sumberdaya alam, misalnya perikman, yang meletakkan pengetahuan dan kesadari lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya..
Kondisi ini diperburuk dengan pencitraan terhadap masyarakat yang diang-gap tidak mempunyai kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hutan rakyat, yang merupakan usaha penanaman komoditas kayu di tanah milik selama ini disepelekan. Pemerintah lebih mengakomodir pengusaha yang bermodal besar untuk memiliki hak konsesi berupa HTI dan atau HPH.
Hutan rakyat, mempunyai posisi strategis yang secara tidak langsung merupakan reaksi masyarakat terhadap kondisi alam yang tidak lagi mampu mengakomodasi daya tampung yang ada. Motif ini berkembang ketika hutan rak-yat mampu memberikan sumbangan ekonomi dalam skala rumah tangga petani. Manfaat hutan rakyat baru dirasakan ketika terdapat peningkatan yang signifikan, dengan adanya peningkatan statistik tahun 2003 diketahui terdapat 1,56 juta ha HR dengan potensi kayu 39,5 juta m3 (Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik 2004), yang berkembang menjadi 2,58 juta ha dengan potensi kayu 74,76 juta m3 pada 2008 (BPKH Wilayah XI & MFP II 2009).
Data terbaru menunjukkan tahun 2010, HR di Jawa-Madura telah mencapai luasan 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar 97,97 juta m3 (Pusat P2H 2010). Kondisi ini menunjukkan bahwa luas HR telah melebihi luas hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa yaitu 2,43 juta ha yang terdiri dari hutan produksi seluas 1,77 juta ha dan hutan lindung seluas 0,66 juta ha.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengelola hutan dengan baik. Bahkan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dilakukan di tanah milik lebih menunjukkan kelestarian yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Carter (1996) bahwa suatu strategi untuk mencapai pembangu-nan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambil keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat tersebut. Dalam penyampaian ini tersampaikan bahwa masyarakat mempunyai kepekaan yang mendalam terhadap sumberdaya alam di sekitarnya.


Penguatan Kelembagaan
Sebagaimana terminologi yang dibangun, hutan rakyat merupakan hutan yang berada di tanah hak, yang dipertahankan oleh masyarakat untuk mampu memberikan nilai ekonomi dalam bentuk komoditas kayu. Teorema ini memun-culkan sebuah konkluis bahwa hutan rakyat dikelola oleh petani, baik secara individu atau kelompok.
Kelemahan yang selama ini muncul, baik dikalangan akademisi, birokrat, dan teknokrat adalah lebih menekankan pada pondasi teknis semata. Padahal terdapat substansi yang selama ini tertinggal bahkan terlupakan, yaitu tentang kelembagaan dan ketegasan institusi yang ada. Ini senada dengan yang disampaikan oleh Kartodihardjo (2006) bahwa kegagalan pengelolaan sumber-daya hutan tidak hanya terletak pada tataran teknis belaka, tetapi lebih pada pembentukan kerangka pikir yang salah dan lemahnya kebijakan yang dilahirkan oleh lemahnya interaksi dengan ketiadaan kebijakan antar sektor.
Permasalahan kelembagaan menjadi hal yang penting karena dengan adanya kelembagaan yang jelas dalam pengelolaan hutan rakyat diharapkan mampu memberikan aturan baik secara managerial atau teknis demi kemajuan hutan rakyat. Kelembagaan yang diharapkan tentunya harus mampu mencitrakan kekhasan dari adat dan norma yang selama ini dijalankan oleh masyarakat. Karena kelembagaan tidak lain merupakan (North 1994) aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (humanly devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial.
Strategi yang dapat ditempuh dalam rangka penguatan kelembagaan hutan rakyat diantaranya harus mampu menyerasikan antara lembaga formal dan non formal dalam konteks pengelolaan hutan. Strategi pengembangan kelembagaan hutan rakyat didasarkan atas identifikasi kekuatan dan kelemahan kedua lembaga.
Dari kelembagaan inilah diharapkan muncul sebuah kelompok tani yang terdiri dari kumpulan petani-petani hutan rakyat. Keberadaan kelompok tani diharapkan mampu mengakomodir kepentingan anggota. Selain itu, keberadaan kelompok tani mampu menguatkan posisi petani dalam menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder.
Studi kasus yang bisa menjadi contoh adalah keberadaan Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kulon Progro Yogjakarta. KWLM mampu mengor-ganisir petani hutan rakyat untuk bisa menentukan manajemen pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kearifan lokal. Keberadaan koperasi memberikan dampat positif, yaitu: pengakuan secara hukum keberadaan hutan rakyat serta koperasi petani oleh pemerintah daerah, mengakomodasi berbagai pihak untuk dapat bermitra dengan petani hutan rakyat, dan menentukan manajemen pengelolaan.
Adapun langkah-langkah penguatan kelembagaan hutan rakyat, yaitu :
1.             Pengembangan kelembagaan hutan rakyat
a.         Identifikasi kelembagaan potensial
b.        Penumbuhan motivasi/animasi
c.         Penumbuhan kelembagaan
b)        Pengembangan kelembagaan (fasilitasi kapasitas SDM/Pengurus, fasi-litas mekanisme manajemen dan kelembagaan, fasilitasi pengem-bangan aktivitas dan usaha, serta pengembangan kemitraan).
2.             Pengembangan kelembagaan ekonomi
Kelembagaan ekonomi rakyat adalah suatu kelembagaan yang tumbuh dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat dan dijalankan oleh masyarakat atas inisiatif mereka. Upaya pengembangan kelembagaan ekonomi yang berlandaskan atas azas kekeluargaan melalui beberapa langkah, antara lain:

Langkah I: Mendorong dan membimbing masyarakat agar mampu bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok. Anggota kelompok haruslah terdiri dari masyarakat yang saling mengenal, saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi. Bimbingan dan bantuan kemudahan diberikan oleh instansi pembina atau pihak lain yang mampu menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian.

Langkah II: Menumbuhkan gabungan kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang sudah tumbuh didorong dan dibimbing agar mau dan mampu bekerjasama antar kelompok dalam bentuk gabungan kelompok/asosiasi yang mampu memberi manfaat secara lebih besar bagi para anggotanya, seperti:
- Menghimpun peningkatan modal usaha
- Memperbesar skala usaha
- Meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining potition)
- Meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha.

Langkah III: Menumbuhkan lembaga ekonomi formal. Dapat dilakukan melalui berbagai latihan dalam bentuk kursus atau magang yang dirancang secara khusus seperti kursus pengembangan motivasi berprestasi, kursus manajemen partisipatif, pelatihan/ kursus kewirausahaan, pelatihan manaje-men usaha dan atau simpan pinjam kelompok, dan lain-lain.

Membangun Kolaborasi
Seperti uraian di atas, dapat diketahui bahwa karakteristik pengelolaan hutan rakyat selama ini di dominasi oleh model individual (housedhold management), sehingga seringkali ‘dipinggirkan’ oleh system pemerintah di Indonesia. Hal ini terjadi karena sampai saat ini mainstreamnya adalah pengelolaan hutan skala besar, bukan pengelolaan hutan skala kecil.
Kawasan hutan rakyat merupakan kesatuan dari kumpulan kepemilikan hutan rakyat petani yang menyatu dalam sebuah kelompok tani. Penyatuan ini didasarkan oleh satu kesatuan historis, geografis, ekologis, dan sosial ekonomi masyarakatnya (Awang 2010). Kelompok tani inilah yang nantinya membentuk satu unit management hutan rakyat yang mengikuti kaidah-kaidah kearifan lokal dan bersifat ilmiah universal.

Duduk bersama untuk kemandiriaan ekonomi rakyat. Terdapat keuni-kan tersendiri ketika bergerak pada sektor sumberdaya alam. Baik sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan dan kelautan, serta sektor yang lainnya, terdapat ego sentris yang kuat dalam mempertahankan kekuasaan sektor tertentu. Fenomena ini harus segera dipecahkan mengingat terdapat kemampuan berbagai pihak untuk  menjalin kerjasama dalam mengelola sumberdaya alam.
Managemen hutan rakyat mampu menjadi ruang untuk bertemunya berbagai pemilik kepentingan. Status hutan yang terdapat di tanah milik menjadi kekuatan tersendiri bagi petani. Hal ini diharapkan dapat menyatukan pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan kalangan akademis untuk dapat mendukung keberhasilan hutan rakyat.

Berbagai kapasitas dengan elemen Pemerintah Daerah. Keberadaan hutan rakyat menjadi modal tersendiri bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi daerah. Hutan rakyat mampu mendorong kemandirian ekonomi bagi masyarakat. Pemerintah daerah harus bisa membaca dengan cermat, terkait dengan peran pemerintah daerah terhadap kemajuan hutan rakyat.
Pemerintah daerah sudah sewajarnya untuk merubah paradigma bahwa masyarakat dapat mengelola hutan dengan baik ketika diberi ruang yang adil. Paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi yang bersifat devolusi dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus segera dilakukan. Apalagi hutan rakyat sebagai hutan yang tumbuh di tanah milik petani. Sehingga pemerintah daerah dapat lebih ringan dalam penempatan partisipasi. Pemerintah daerah cukup memberikan jaminan legalitas dan perlindungan usaha yang dilakukan oleh kelompok tani, serta penyediaan infrastruktur bagi berlangsungnya usaha hutan rakyat. Dari uraian di atas penulis memberikan usulan peran pemerintah daerah mencakup:
1.    Penyedia infrastruktur dalam kemajuan hutan rakyat, meliputi penyediaan bibit, penyediaan pupuk, dan lain sebagainya sesuai dengan kekhasan daerah.
2.    Memberikan kepastian hukum terhadap kelompok tani dan kepastian properti tanah milik.
3.    Memberikan pinjaman lunak dan kepastian pasar yang berprinsip kepada keadilan dan kesejahteraan masyarakat

Penguatan kapasitas kelompok tani oleh LSM dan atau NGO. Serta pengua-tan dan advokasi aspirasi masyarakat kepada pemerintah daerah. LSM dan NGO menjadi pendamping petani dalam melakukan usaha hutan rakyat. Tujuan dari pendampingan ini adalah terdapat pemantapan kapasitas, model, introduksi kemajuan terhadap tenologi untuk kesuksesan hutan rakyat.

Bermitra dengan pemilik modal. Kalangan pengusaha juga harus meng-ambil peran sesuai kapasitas. Yaitu, sebagai pemilik modal, harus berani menjalin kerjasama dengan petani. Kerja sama dalam bentuk kepastian pasar hasil komoditas hutan rakyat, yaitu berupa kemitraan antara pengusaha dengan kelompok tani. Petani sebagai produsen kayu dan pengusaha sebagai pihak yang membutuhkan bahan baku kayu untuk keberlangsungan usahanya.

Introduksi tenologi untuk kesuksesan hutan rakyat. Yang tidak kalah pentingnya adalah keikutsertaan akademisi. Akademisi diharapkan menjadi penghubung untuk bisa mengintroduksi teknologi dari lingkungan kampus kepada masyarakat petani yang tentunya disesuaikan dengan kearifan yang ada.

Penutup
Penguatan kelembagaan menjadi hal yang penting dalam keberadaan kelompok tani hutan rakyat. Kelembagaan yang kuat menjadi modal untuk dapat menyatukan berbagai pihak dalam mendukung kesuksesan hutan rakyat. Pemerintah dapat berperan sebagai pihak yang dapat memberikan kelengkapan infrastruktur untuk usaha hutan rakyat, serta jaminan usaha yang dilakukan oleh petani. Pengusaha sebagai pemilik modal dapat menjadi pihak yang memberikan pinjaman modal lunak dan kerjasama kepastian pasar atas produk yang dihasilkan oleh petani.
Pengusaha akan diuntungkan dengan adanya produk kayu yang merupakan bahan baku untuk usaha industrinya. Keberadaan hutan rakyat ini juga mampu menjamin keberadaan bahan baku kayu untuk industri. Selanjutnya LSM dan atau NGO serta kalangan akademisi lebih ditekankan kepada penguatan kapasitas dan introduksi teknologi untuk kemajuan hutan rakyat. Penguatan kapasitas sangat penting sekali kaitannya dalam pemantapan posisi petani dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kelembagaan yang kuat ini diharapkan mampu menjadi model unit managemen pengelolaan hutan rakyat yang baik.

Referensi
[BPKH Wilayah XI dan MFP II] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa Madura dan Forest Governance and Multi-stakeholders Forestry Programme. 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990–2008. Jakarta: BPKH Wilayah XI dan MFP II.
[Dephut dan BPS] Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 
[Pusat P2H] Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. 2010. Kerangka Acuan Seminar Pola Pengelolaan dan Pembiayaan Hutan Rakyat. Jakarta: Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan. 
Afriantho G. 2008. Prospek Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor. [skripsi] Fakultas Kehutanan IPB: Bogor. 
Awang SA. 2010. Manajemen hutan rakyat kolaboratif di tingkat kawasan. Paper Lokakarya Hutan Rakyat Relung. PKHR UGM: Yogjakarta. 
Carter JA. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan and Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhousie University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project. 
Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Ford Foundation: Jakarta. 
Nikijuluw VPH. 1994. Sasi sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 93:79-92. 
North D. 1994. Economic Performance Through Time. The American Economic Review. Vol. 84, Issue 3, Juni: 359-368. 
Nugroho B. 2010. Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir Hutan Rakyat. J Manaj Trop 16(3): 118-125. Halm. 118-125, Desember 2010.

[1] Artikel ilmiah ini diterbitkan di Jurnal Kritik Institusi (2 Juni 2011)
[2] Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan Peneliti di FORCI Developmet.

0 komentar:

Posting Komentar